A. Muntaha Afandie *)
Kerukunan beragama di negeri itu mulai pudar. Keseharian umat Islam yang awalnya rukun berubah menjadi pertumpahan darah. Apa penyebabnya? Kenapa umat yang mempercayai nabi dan Tuhan yang sama sampai menghunus pedang di medan perang? Permukaan bumi pun terpaksa kembali meminum darah umat yang mengimani satu Kitab Suci.
Kejadian itu dalam sejarah diabadikan dengan nama Perang Paderi. Sejarah menjadi saksi bisu meletupnya perang tersebut karena jiwa keislaman kaum adat merasa diciderai oleh tiga orang dai—Haji Miskin, Haji Piobang, Haji Sumanik—yang menjejalkan jargon ”Kembali kepada Allah” di Minangkabau.
Doktrin itu masyhur dengan nama wahabi. Sekte yang mengajak pada ”pemurnian” Islam: semua berlandaskan pada Alquran dan Alhdits an sich. Hal-ihwal dalam beribadat yang tidak berlandaskan pada kedua sumber hukum Islam tersebut bidah, khurafat, dan syirik.
Kita semakin sulit untuk menyangkal adanya wahabisasi Islam Indonesisa, setelah badai reformasi meruntuhkan status quo Orde Baru. Pengusiran Gus Dur (23/5/2006) dari Forum Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta oleh FPI, HTI, dan Forum Umat Islam menjadi preseden buruk yang tak bisa terlupakan bahwa ruh Islam yang rahmatan lil alamin tercabik oleh ”kebenaran” golongon.
Menurut Abd Moqsith Ghazali ada empat agenda utama ”Wahabisassi Islam-Indonesia” (www.islamlib.com, 06/02/2006) agar negara ini menjadi repetisi Saudi Arabia. Pertama, mempersoalkan Pancasila dan UUD ’45 karena bukan ijtihad Tuhan, tapi manusia. Kedua, penolakan sistem demokrasi yang dianggap sekuler. Ketiga, perjuangan legalisasi syariat Islam yang lebih bersifat partikular. Dan, keempat, penyangkalan terhadap tradisi dan adat-istiadat.
Meskipun mengklaim hanya bepegang pada Alquran dan Alsunnah, fakta lapangan hanya sabda nabi yang sesuai dengan paham mereka yang diakui. Mana kala substansi hadits berlawanan tidak segan men-dhoa’ifkannya bahkan menolak riwayat hadits shahih sekalipun. Selain itu, berbohong saat berdebat pun mendapatkan legalitas. Bahkan wahabi sendiri sebenarnya ahli bidah. Dan, doktrin wahabi—dalam beberapa keyakinan—memiliki keserupaan dengan khawarij yang berpegang kaku pada hokum Tuhan. Misalnya, khawarij menentang arbirtase Ali-Muawiyyah. Perspektif sekte terakhir tidak ada pelaksanaan hukum kecuali Allah. Begitu juga dengan wahabi yang gampang mengkafirkan ritual yang—klaim mereka—tidak ada cantolan hukumnya, lagi-lagi, Alquran dan Alsunnah: berdoa, syafaat, tawsasul, istighotsah, dll. Harus langsung ”koneksinya” pada Allah. Syirik bila melalui mediator (Al Kutsairi, Sayed Mohamad. Al Salafiyyah: Baina Ahl Sunnah wa Al Imamah, 1997).
Maka dari itu, tidak heran bila setahun lalu terbit sebuah buku yang sarat dengan fitnah, dan kering dari substansi ilmiah. Adalah Mahrus Ali si penulis yang mengaku nahdliyyin ”murtad” itu. Murtad dalam arti dari ”aktifis” tahlilan dan lain sebagainnya, kini menggugat habis keyakinan lamanya—terlepas dari benarkah dia seorang NU atau bukan. Dalam Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikri Syirik, Mahrus merekomendasikan tidak bermazhab. Ia juga meyakinkan pembacanya bahwa memahi Alquran atau sabda nabi tidak perlu—bahkan harus meninggalkan—penafsiran ulama karena taklid pada ulama adalah salah satu dari bentuk kesyirikan. Ironisnya, demi bisa menyakinkan pembacanya, ia memalsukan dalil-dalil dan (yang memalukan) salah mengutip nama seorang ulama. Lebih ironis lagi, setelah ”mbulet” mengajak kaum muslimin meninggalkan mazhab, Mahrus malah menyeret mereka pada taklid buta terhadap imam-imam wahabi. kontradiktif. Bukankah ini bidah yang paling nyata, ustaz?
Disadari atau tidak, menurut Sayed Sabiq, taklid buta adalah penghalang utama bagi kemajuan umat manusia.
Pesantren sebagai Benteng Terakhir
Ruh Islam yang rahmatan lil alamin hanya bisa terjaga bila mengakulturasi budaya dan adat-istiadat. Kesuksesan wali nan sembilan menjadi bukti bahwa Islam yang toleran akan mendapatkan sambutan yang baik: berapa raja tanah Jawa Dwipa yang rela pindah keyakinan karena kelembutan dakwah wali nan sembilan? Berapa orang mengucapkan syahadat hanya untuk menyaksikan penampilan wayang kulit Sunan Kali Jaga? Sebaliknya, dakwah yang kaku, alih-alih mempurifikasi agama, malah mengebiri ruh Islam yang rahmatan lil alamin. Belum cukupkah Perang Paderi dijadikan sebagai bukti akibat upaya pemasungan dan pemberantasan kreasi-kreasi kebudayaan lokal dipandang bid’ah, takhayul, dan khurafat oleh dai-dai wahabi yang saya sebutkan di awal, misalnya. Bila kita mau membuka lembaran sejarah, penyebaran wahabi sendiri—oleh pendirinya—diwarnai merahnya darah karena kekakuannya.
Berbeda dengan para sunan yang lebih memilih ”meleburkan” Islam ke dalam psikologis masyarakat Jawa. ”… dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu,” tulis Achmad Chodjim (Chadjim, Achmad. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, 2003).
Dalam konteks kekinian dan kedisinian Indonesia, satu-satunya ormas yang melestarikan metode dakwah wali sanga adalah Nahdlatul Ulama. Ini bisa kita lacak dari jargon kalangan nahdliyyin: al muhafadlatu ‘ala al qadimi al shalih wa al akhdlu bi al jadid al ashlah.
Pesantren sebagai basis utama NU memegang tanggung jawab moral dan tantangan yang besar. Tanggung jawab melestarikan metode dakwah kesembilan wali itu dan tantangan meracik ulang ”menu” lama mereka yang masih layak dengan ”bumbu” baru yang lebih maslahat agar tetap terasa lezat; sebagaiman jargon tersebut. Dengan demikian, insyaallah, masyarakat lebih melirik ke NU dari pada buaian ”Kembali kepada Tuhan.” Dan, umat pun terselamatkan.
Dalam pada itu, pesantren juga harus membekali santri-santrinya dengan ke-NU-an yang matang, berikut ke-aswaja-an yang mendalam. Satu perkara yang terkadang kurang diperhatikan oleh pesantren adalah kurangnya membekali peserta didiknya dengan dalil-dalil ritual yang selalu menjadi sorotan. Misalnya, tawasul, tahlil, dll. Kalaupun ada, masih sederhana. Padahal sangat urgen memahami dan mengetahui dalil-dalil tersebut. Selain berguna bagi para santri secara pribadi, juga bermanfaat secara sosial. Santri hanya disibukkan dengan masalah ubudiyyah-mu’amalah (fikih) tanpa ada usaha untuk mengajak mereka mendalami sumber-sumber ubudiyyah-mu’amalah itu sendiri. Padahal ritual-ritual itulah yang tidak pernah berhenti diserang oleh wahabisme—atau lebih tepatnya neo-wahabi. Salah satunya—kembali saya mengutip nama—Mahrus Ali. Seyogianya bagi kalangan nahdliyyin mulai berbenah diri.
Menurut hemat saya, sudah saatnya pengasuh-pengasuh pesantren duduk bersama merumuskan kurikulum aswaja dan ke-NU-an secara mendalam, bukan hanya secara parsial seperti diterapkan di beberapa pesantren selama ini.
Kang-kang santri, di tangan kalianlah umat Islam Indonesia bisa selamat dari wahabisasi yang formatnya sudah disusun rapi di Arab Saudi. Menghadapinya pun perlu format yang mantap.
Apa jadinya agama akulturatif ini tanpa mentoleransi budaya dan adat-istiadat?
*) Aktivis tahlilan dan ziarah kubur ini pernah nyantri dan mendedikasikan diri pada majalah Misykat Ponpes Lirboyo, Kediri. Saat ini sedang studi di Libya dan mendapatkan amanah sebagai ketua LTN PCI NU Libya, pemred Sahara dan Al Ukhuwah. Lebih lengkap klik: http://www.achmadmuntaha.co.cc. kontak person: santrimbeling[at]achmadmuntaha[dot]co[dot]cc.
Sumber: Milenia Aswaja, edisi II, April 2009
Tulisan yang bagus. Pada akhirnya, semua harus bisa mengaktualisasikan “diri” agar lebih eksis. Salam.